Kedelai lokal dianggap sejumlah pedagang berbahan baku kedelai lebih sedap. Jika dibanding kedelai impor, kedelai lokal punya aroma yang kuat, bagus dan sedap jika diolah.Harganya juga lebih murah di bandingkan dengan harga kedelai impor.
Kualitas kedelai lokal lebih baik dan enak. Baunya sedap dan tidak cepat basi berbeda dengan kedelai impor yang mudah basi dan berbau mungkin telah di camupur bahan pengawat ,” terang Lestariyadi Pedagang Tempe asal Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.
Dijelaskan dia, dalam pembuatan tempe, kedelai impor cenderung lebih lentur dan sulit diolah. Kedelai impor yang punya tekstur besar, juga tidak mudah terolah. Harus menunggu beberapa hari baru bisa padat. Hal itu berbeda jika dibandingkan kedelai lokal yang tekstrunya lebih lentur dan mudah untuk di olah.
Kedelai lokal enak. Kalau kedelai yang impor, terkadang tidak bisa larut dalam cetakan. Masih terasa keras meski sudah diolah,berbeda dengan kedelai lokal yang mudah larut dan mudah untuk di olah menjadi tahu.Selain itu kedelai lokal warnyanya lebih cerah di bandingkan dengan kedelai impor,kalau kedelai impor warnya agak sedikit pudar.
Lestariyadi mengatakan, dalam sehari dirinya menghabiskan 20 kilogram kedelai untuk proses pembuatan tempe. Satu kilogram kedelai, saat ini seharga Rp.61.000 per kilogramnya. Dari satu kilogram kedelai, akan menghasilkan satu alir atau satu tanda tempe. Dimana satu tandan tempe, biasanya menghasilkan keuntungan berkisar Rp.20.000.
Sementara itu, Riyono Suyaji (Produsen Tempe asal Kepanjen menambahkan, dirinya terpaksa menggunakan kedelai impor dengan karakteristik jenis kedelai lebih besar dari varietas lokal. Hal itu ia lakukan karena sangat sulit mencari kedelai lokal. Kendala lainnya, banyak konsumen yang memang lebih suka tempe dengan bahan baku kedelai lokal.
“Kalau kedelai lokal memang rasanya sedap dan gurih kalau sudah digoreng. Kalau diiris, kedelai lokal saat sudah jadi tempe juga tidak mudah rusak,” kata Suyaji.(Nko15)